Imam Ahmad Bin Hambal (164H-241 H)
Sejarah Singkat Imam Hanbali
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal.
adalah Imam yang keempat dari imam mujtahid arbaah. Beliau memiliki sifat-sifat
yang luhur dan tinggi. Ahmad bin Hambal dilahirkan di Baghdad(iraq) pada bulan
Rabiul Awal tahun. Beliau termasyhur dengan nama kakeknya Hambali, kerana
kakeknya lebih masyhur dari ayahnya.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar
hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini.
Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits
terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain
buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau
Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di
seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat
hadits-haditsnya.
Beliau menghapal hadist hingga mencapai
700.000 hadist
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits
memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru
kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal
hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat
dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut,
hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib
nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih
dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al
Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat,
sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada
sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Latar belakang pendidikan
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits,
bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini,
dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah
meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama
terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar
bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda
mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan
ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa.
Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela
menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang
ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam
usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pernikahan beliau
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti
Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia
menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri
keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan
seorang jariyah, hamba sahaya wanita
bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima
orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said
Keperibadian beliau yang begitu rupawan
Beliau adalah orang yang zuhud lagi dermawan
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal
tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal
yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ”Hampir setiap
hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih
banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,” katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin
Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ”Aku pernah datang kepada Imam
Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ‘Ini
adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.”’
Beliau orang yang teguh pendirian
Imam Hanbali juga dikenal teguh
memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu’tazilah tengah berjaya.
Dukungan Khalifah Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini
sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran
yang dipaksakan penganut Mu’tazilah adalah paham Al-Qur’an merupakan makhluk
atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham
tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu’tasim, putra Al
Ma’mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al
Wasiq menggantikan ayahnya, Mu’tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap
Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati
kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.
Pengajaran beliau
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali
menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam
Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari
berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara
lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu
Zur’ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al
Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi’i,
Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali
dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah
fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian
khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.
Pengikut mazhab imam hanbali
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang
pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar
penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur’an dan
Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur’an dan
Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang
diketahui tidak ada yang menentangnya.
Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia
akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan
Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi
mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang
dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang
lemah, namun bukan ‘maudu’, atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif
didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan
bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang
di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir.
Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu
Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang
membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab
Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut
umat Islam di kawasan Timur Tengah.
---------------------------------------------------Hasil
karya----------------------------------------------------
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di
berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi
kajian antara lain Tafsir Al-Qur’an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur’an,
At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah
Musnad Ahmad bin Hanbal.
Nasab dan Kelahiran-nya
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin
Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin
Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada
diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi
Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua
beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di
kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat
yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia
muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal,
berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa
pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani
‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah.
Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai
seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik
asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya,
sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah
mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga
yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya,
Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang
tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan
dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama
di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia
Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam
kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana
tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan
sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari
ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan
pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang
tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau
dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan
keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau
pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil
(periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata,
‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang
selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah
tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau
mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah
al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada
tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil
hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan
mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga
syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau
mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan
perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan
selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu
darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam
Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i
sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan
dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau
mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin
al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata,
“Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya
untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan
Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Sebuah Catatan Kecil
Demikianlah, beliau amat menekuni
pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain
sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40
tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah
mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab,
“Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap
menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti
itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan
lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid
beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan
lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya
kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Bersambung Kekisah Ke-empat
Berisi tentang wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal
Setelah Kekuasan Berpindah Kepada Al-amin
(Rasionalis)
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah
sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran.
Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu
sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun
ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy
mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah
menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara
yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid
wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha
menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru
kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat
kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama
masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa,
dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan
warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan
mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya.
Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak
terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di
antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa
Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan
bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota
Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan
terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke
Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana
karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan
bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah
ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar
meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal
tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara
lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau
tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan
yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan
diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama
sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat
dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim
mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak
berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia
mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras
dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan
penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya Imam Ahmad Bin Hanbal
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara.
Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah
luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya
di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi
khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan
ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan
Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan
yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama
orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya
bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya
selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Semakin Bertambah Ujian Beliau
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil
naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang
kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia
menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya
larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati
bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para
ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka
demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu.
Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan
kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya
disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul
Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama
sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin
menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai
sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan
hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya
menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan
kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai
beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang
mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih
orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka
yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka
kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu
bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari
kematian kami”.
---------------------------------------------------------------Ringkasan--------------------------------------------------
Sebuah catatan Kecil
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang
dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan
diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap
seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan
dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka
madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan
teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam
Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada
yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat
orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin
Hanbal pada Yaumul Mihnah”. demikian
kisah singkat al imam Hambali ra. semoga kita bisa mengambil manfaat dr beliau.
amiin...