Abdillah Al- Faqir Aw

Imam Ahmad Bin Hambal (164H-241 H)




 

 Imam Ahmad Bin Hambal (164H-241 H)

 Sejarah Singkat Imam Hanbali

       Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal. adalah Imam yang keempat dari imam mujtahid arbaah. Beliau memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi. Ahmad bin Hambal dilahirkan di Baghdad(iraq) pada bulan Rabiul Awal tahun. Beliau termasyhur dengan nama kakeknya Hambali, kerana kakeknya lebih masyhur dari ayahnya.


 Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.

 Beliau menghapal hadist hingga mencapai 700.000 hadist

 Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.

 Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.

 Latar belakang pendidikan

 Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.

 Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.

 Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.

 Pernikahan beliau

 Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita

 bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said

  Keperibadian beliau yang begitu rupawan

   Beliau adalah orang yang zuhud lagi dermawan

        Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ”Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,” katanya.

 Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ”Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ‘Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.”’

   Beliau orang yang teguh pendirian

        Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu’tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu’tazilah adalah paham Al-Qur’an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.

 Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu’tasim, putra Al Ma’mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu’tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.

   Pengajaran beliau

        Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.

 Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi’i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.

   Pengikut mazhab imam hanbali

        Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.

 Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.

 Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan ‘maudu’, atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.

 Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.


 ---------------------------------------------------Hasil karya----------------------------------------------------

 Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur’an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur’an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.


 Nasab dan Kelahiran-nya

           Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.

 Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.

 Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.

   Masa Menuntut Ilmu

           Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.

 Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.

 Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”

 Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.

 Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.

 Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”

    Sebuah Catatan Kecil

        Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.

   Bersambung Kekisah Ke-empat
  Berisi tentang wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal

  Setelah Kekuasan Berpindah Kepada Al-amin (Rasionalis)

        Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.

 Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.

 Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.

 Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
 Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.

   Sakit dan Wafatnya Imam Ahmad Bin Hanbal

 Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.

        Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.

   Semakin Bertambah Ujian Beliau

        Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.

 Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.

 ---------------------------------------------------------------Ringkasan--------------------------------------------------

 Sebuah catatan Kecil

        Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.  demikian kisah singkat al imam Hambali ra. semoga kita bisa mengambil manfaat dr beliau. amiin...

READMORE
 

Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H )



Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H )

 Nama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin
Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad. Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur
 .
 Penghijrahan ke Palestina

 Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestina kerana beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.

 Kelahiran dan Kehidupannya

 Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestina pada tahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggal dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim. Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.

 PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’I

 Hidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan kriteria ilmiah dan popularitasnya.

 Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )

 Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H), ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari Ghazzah, Palestina ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di sana.
 Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagi terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan dengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkat ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).

 Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah di samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas pulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya dengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal. Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik perhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yang mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkat remaja iaitu lima belas tahun.

 Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau berdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah Imam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun. Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal di kota itu.

 Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )

 Ketika Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh Gabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang Qurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau melantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran. Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran Gabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan terhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid di Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidak bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.

 Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )

 Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa arti yang amat besar kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu. Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y. Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau berpindah ke Mesir.

 Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga tahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitab Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapa perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.

 Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )

 Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil usahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang langit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan Hijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke semua aliran itu. Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satu Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Shafi’i.

 Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kota suci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar, mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa aliran dan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masa itu.

 Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H

 Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad. Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, tetapi sebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personalitas dan aliran fiqah yang tersendiri. Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliau telah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).

 Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yang berbeza dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentu menimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuan yang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yang disebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, iaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaibani.

 Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al- Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yang menerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”.
 Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut (di dalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendaki maksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khas tetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belum lagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”
 Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertama atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan lain dalam bidang fiqah dan lain-lain.

 Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )

 Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Pada tahun 198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanya beberapa bulan sahaja. Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dan sampai ke negara itu dalam tahun itu juga. Di negara baru ini beliau menetap sehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.

 Imam As-Shafi’i wafat pada tahun 204H. Asas Fiqih dan Ushul Fiqih kemudian disebar dan diusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz, Iraq dan Mesir.


 Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H )

 FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’I

 Perpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalam Mazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau di Baghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqahnya yang beliau hasilkan di Baghdad disemak semula dan diubah. Dengan ini terdapat dua fatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lamanya ialah segala fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Iraq, fatwa barunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Mesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lama atau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barunya atau Qaul Jadid.

 Di sini harus kita fahami bahawa tidak kesemua fatwa barunya menyalahi fatwa lamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada di antara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yang bersamaan dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebab dikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannya hanyalah berdasarkan kepada ghalibnya sahaja”.

 PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’I

 Di antara para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-Madinah) ialah :-

 ·        Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun 219H.

 ·        Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitab Al-Shafi’i. Tidak diketahui tarikh wafatnya.

 ·        Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.

 ·        Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.

 Sementara di Iraq pula kita menemui ramai para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal, di antara mereka ialah :-

 ·        Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafat pada tahun 241

 ·        Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.
 Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.

 ·         Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H

 ·        .Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.

 ·         Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikh wafatnya.

 ·        Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.
 Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.

 ·        ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.

 ·        ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.

 Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalah sahabat Imam Al-Shafi’i, seperti :-

 ·        Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat pada tahun 264H.

 ·        Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun .

 ·        Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H.

 ·        Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H.

 ·        Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H.

 ·        Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafat pada tahun 268H.

 ·        Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.

 Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas di seluruh rantau Islam di zaman-zaman berikutnya.

 PERKEMBANGAN MAZHAB IMAM AL-SHAFI’I

 Menurut Ibn Al-Subki bahawa Mazhab Al-Shafi’I telah berkembang dan menjalar pengaruhnya di merata-rata tempat, di kota dan di desa, di seluruh rantau negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasan sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syria, Mesir, Yaman, Hijaz, Iran dan di negara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempadan negara China. Penyebaran yang sebegini meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada kita sejauh mana kewibawaan peribadi Imam Al-Shafi’i sebagai seorang tokoh ulama dan keunggulan Mazhabnya sebagai satu-satunya aliran fiqah yang mencabar aliran zamannya.




 Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H )
 IMAM AL-SHAFI’I DAN KITABNYA  
  Permulaan Mazhabnya
        Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian yang rapat dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah bahawa pembentukan Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari kunjungan ke Baghdad pada tahun 186H. Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salah seorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’ Ahl Al-Ra’y. Sikapnya yang sebegini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan “Nasir Al-Hadith”.
 Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat pengajarannya (halqah) di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalam memperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah dibahagikan kepada tiga peringkat :-
         Peringkat Makkah (186 – 195H)
         Peringkat Baghdad (195 – 197H)
         Peringkat Mesir (199 – 204H)
 Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikut yang telah menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasil kajiannya.
 Penulisan Pertamanya
 Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca dari tidak adanya keterangan yang jelas mengenai kedua-dua perkara tersebut. Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan pulangnya semula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan di tempat mana beliau mulakan usaha penulisannya.
 Apa yang kita temui – sesudah kita menyemak beberapa buah kitab lama dan baru yang menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang menunjukkan bahawa kitabnya “Al-Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam Ilmu Usul, pun keterangan ini tidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil penulisannya yang pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di samping adanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat di mana beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan ada juga pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya ketika berada di Iraq.
 Kata Ahmad Muhammad Shakir : “Al-Shafi’I telah mengarang beberapa buah kitab yang jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yang menulisnya, lalu dibacakannya kepada orang ramai. Sebahagiannya pula beliau merencanakannya sahaja kepada para sahabatnya. Untuk mengira bilangan kitab-kitabnya itu memanglah sukar kerana sebahagian besarnya telahpun hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau berada di Makkah, di Baghdad dan di Mesir”.
 Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kita membuat satu kesimpulan bahawa Al-Shafi’i telah memulakan siri penulisannya sewaktu beliau di Makkah lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang dihasilkannya ialah kitab “Al-Risalah”.
 Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab Qadim
        Di samping “Al-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut oleh para ulama sebagai sebuah kitab yang mengandungi fatwa Mazhab Qadimnya iaitu “Al-Hujjah”. Pun keterangan mengenai kitab ini tidak menunjukkan bahawa ia adalah kitab pertama yang di tulis di dala bidang Ilmu Fiqah semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkannya sewaktu beliau berpindah ke negara itu pada kali keduanya, iaitu di antara tahun-tahun 195 – 197H.
 Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam Ilmu Fiqah yang beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau rs
 penulisannya atau beliau
 merencanakannya kepada para sahabatnya di Iraq, antaranya seperti kitab-kitab berikut :





 Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H )
 Kitab-kitab Mazhab Jadid

 Di antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah :-

 i. Al-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau berpindah ke Mesir.

 ii. Beberapa buah kitab di dalam hukum-hukum furu’ yang terkandung di dalam kitab “Al-Um”, seperti :-

 a) Di dalam bab Taharah :
 1. Kitab al-Wudu’
 2. Kitab al-Tayammum
 3. Kitab al-Taharah
 4. Kitab Masalah al-Mani
 5. Kitab al-Haid

 B) Di dalam bab Solah :
 6. Kitab Istiqbal al-Qiblah
 7. Kitab al-Imamah
 8. Kitab al-Jum’ah
 9. Kitab Solat al-Khauf
 10. Kitab Solat al-‘Aidain
 11. Kitab al-Khusuf
 12. Kitab al-Istisqa’
 13. Kitab Solat al-Tatawu’
 14. Al-Hukm fi Tarik al-Solah
 15. Kitab al-Jana’iz
 16. Kitab Ghasl al-Mayyit

 c) Di dalam bab Zakat :
 17. Kitab al-Zakah
 18. Kitab Zakat Mal al-Yatim
 19. Kitab Zakat al-Fitr
 20. Kitab Fard al-Zakah
 21. Kitab Qasm al-Sadaqat

 d) Di dalam bab Siyam (Puasa) :
 22. Kitab al-Siyam al-Kabir
 23. Kitab Saum al-Tatawu’
 24. Kitab al-I’tikaf

 e) Di dalam bab Haji :

 25. Kitab al-Manasik al-Kabir
 26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir
 27. Mukhtasar al-Haj al-Saghir

 f) Di dalam bab Mu’amalat :
 28. Kitab al-Buyu’
 29. Kitab al-Sarf
 30. Kitab al-Salam
 31. Kitab al-Rahn al-Kabir
 32. Kitab al-Rahn al-Saghir
 33. Kitab al-Taflis
 34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Saghir
 35. Kitab al-Sulh
 36. Kitab al-Istihqaq
 37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah
 38. Kitab al-Himalah wa al-Wakalah wa al-Sharikah
 39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib
 40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir
 41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi
 42. Kitab al-‘Ariah
 43. Kitab al-Ghasb
 44. Kitab al-Shaf’ah

 g) Di dalam bab Ijarat (Sewa-menyewa) :
 45. Kitab al-Ijarah
 46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah
 47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat
 48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir
 49. Kitab Kara’ al-Ard
 50. Kara’ al-Dawab
 51. Kitab al-Muzara’ah
 52. Kitab al-Musaqah
 53. Kitab al-Qirad
 54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat

 h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah) :

 55. Kitab al-Mawahib
 56. Kitab al-Ahbas
 57. Kitab al-‘Umra wa al-Ruqba

 i) Di dalam bab Wasaya (Wasiat) :
 58. Kitab al-Wasiat li al-Warith
 59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq
 60. Kitab Taghyir al-Wasiah
 61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al-Mayyit
 62. Kitab Wasiyat al-Hamil

 j) Di dalam bab Faraid dan lain-lain :
 63. Kitab al-Mawarith
 64. Kitab al-Wadi’ah
 65. Kitab al-Luqatah
 66. Kitab al-Laqit

 k) Di dalam bab Nikah :
 67. Kitab al-Ta’rid bi al-Khitbah
 68. Kitab Tahrim al-Jam’i
 69. Kitab al-Shighar
 70. Kitab al-Sadaq
 71. Kitab al-Walimah
 72. Kitab al-Qism
 73. Kitab Ibahat al-Talaq
 74. Kitab al-Raj’ah
 75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz
 76. Kitab al-Ila’
 77. Kitab al-Zihar
 78. Kitab al-Li’an
 79. Kitab al-‘Adad
 80. Kitab al-Istibra’
 81. Kitab al-Rada’
 82. Kitab al-Nafaqat

 l) Di dalam bab Jirah (Jenayah) :
 83. Kitab Jirah al-‘Amd
 84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat
 85. Kitab Istidam al-Safinatain
 86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin
 87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad
 88. Khata’ al-Tabib
 89. Jinayat al-Mu’allim
 90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam
 91. Kitab al-Qasamah
 92. Saul al-Fuhl

 m) Di dalam bab Hudud :
 93. Kitab al-Hudud
 94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah
 95. Qutta’ al-Tariq
 96. Sifat al-Nafy
 97. Kitab al-Murtad al-Kabir
 98. Kitab al-Murtad al-Saghir
 99. Al-Hukm fi al-Sahir
 100. Kitab Qital ahl al-Baghy

 n) Di dalam bab Siar dan Jihad :
 101. Kitab al-Jizyah
 102. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i
 103. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Waqidi
 104. Kitab Qital al-Mushrikin
 105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul
 106. Kitab al-Sabq wa al-Ramy
 107. Kitab Qasm al-Fai’ wa al-Ghanimah

 o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan) :
 108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab
 109. Kitab al-Dahaya al-Kabir
 110. Kitab al-Dahaya al-Saghir
 111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih
 112. Kitab Dhabaih Bani Israil
 113. Kitab al-Ashribah

 p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman) :
 114. Kitab Adab al-Qadi
 115. Kitab al-Shahadat
 116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid
 117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat
 118. Kitab al-Aqdiah
 119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur

 q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain :
 120. Kitab al-‘Itq
 121. Kitab al-Qur’ah
 122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah
 123. Kitab al-Wala’ wa al-Half
 124. Kitab al-Wala’ al-Saghir
 125. Kitab al-Mudabbir
 126. Kitab al-Mukatab
 127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad
 128. Kitab al-Shurut

 Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-Baihaqi sebagai kitab-kitab usul, tetapi ia juga mengandungi hukum-hukum furu’, seperti :-
 1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith
 2. Kitab Jima’ al-Ilm
 3. Kitab Ibtal al-Istihsan
 4. Kitan Ahkam al-Qur’an
 5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla
 6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy
 7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i
 8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin
 9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan
 10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah
 11. Kitab Fada’il Quraysh

 Ada sebuah lagi kitab al-Shafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah iaitu “al-Mabsut”. Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya dengan “al-Mukhtasar al-Kabir wa al-Manthurat

 Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H )VII
 Sahabat dan murid-murid Beliau
 Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi (174 – 270 H)

 Beliau ini adalah murid langsung dari Imam Syafi’i Rhl., dibawa dari Bagdad sampai ke Mesir. lahir tahun 174H. (wafat tahun 270 H.).

 Beliau inilah yang membantu Imam Syafi’i Rhl. menulis kitabnya Al Umm dan kitab Ushul Fiqih yang pertama di dunia, yaitu Kitab Risalah al Jadidah.

 Berkata Muhammad bin Hamdan : “Saya datang ke rumah Rabi’I pada suatu hari, di mana didapati di hadapan rumahnya 700 kendaraan membawa orang yang datang mempelaja,ri kitab Syafi’i dari beliau”.

 Ini suatu bukti bahwa Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi adalah seorang yang utama, penyiar dan penyebar Madzhab Syafi’i Rhl. dalam abad-abadnya yang pertama.

 Tersebut dalam kitab Al Majmu’ halaman 70, kalau ada perkataan “sahabat kita ar Rabi’i” maka maksudnya adalah Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi ini.

 Di dalam kitab Al Muhadzab tidak ada “Ar Rabi’i selain ar Rabi’i ini, kecuali satu Ar Rabi’i dalam masalah menyamak kulit yang bukan Ar Rabi’i ini, tetapi Ar Rabi’i bin Sulaiman al Jizi. (Beliau ini adalah sahabat Imam Syafi’i Rhl. juga).
 Al Muzany (175 – 264 H)

 Nama lengkap beliau adalah Imam Abu lbrahim Ismail bin Yatya Al Muzani, lahir di Mesir 175 H dan 25 tahun lebih muda dari Imam Syafi’i Rhl.

 Imam Syafi’i Rhl. pernah berkata tentang sahabatnya ini, bahwa Al Muzani adalah pembela Madzhabnya.

 Setelah Imam al Buwaithi ditangkap maka al Muzany menggantikan kedudukannya dalam halakah Imam syafi’i itu sampai beliau wafat pada tahun 264 H. (60 tahun terkemudian dari Imam Syafi’ i Rhl.).

 Beliau adalah seorang ulama yang saleh, zuhud dan rendah hati. Beliau banyak mengarang kitab fiqih Syafi’ iyah, seumpama :
 l. Al Jami’ al Kabir.
 2. Al Jami’ as Shagir.
 3. Al Mukhtashar.
 4. Al Mantsur.
 5. At Targib til trmu
 6. Kitabul Watsaiq.
 7. Al Masail al Mu’tabarah.
 8. Dan lain-lain.
 Al Humaidi (wafat 219H)

 Nama langkap beliau adalah Abdullah bin Zuber bin Isa Abu Bakar al Humaidi. Beliau adalah juga murid langsung dari Iman Syafi’i Rahimahullah.

 Beliaulah yang membawa dan mengembangkan Madzhab Syafi’i ketika di Mekkah, sehingga beliau diangkat menjadi Mufti Mekkah. Wafat di Mekkah pada tahun 219 H.

 Inilah di antaranya murid-murid langsung dari Imam Syafi’i Rhl. yang kemudian menjadi Ulama Besar dan tetap teguh memegang Madzhab Syafi’i.

 Dengan perantaraan beliau-beliau inilah Madzhab Syafi’i tersiar luas ke pelosok-pelosok dunia Islam terutama ke bagian Timur dari Hijaz, yaitu ke lraq, ke Khurasan, ke Maawara an Nahr, ke Adzerbaijan, ke Tabristan, juga ke Sind, ke Afganistan, ke India, ke Yaman dan terus ke Hadaramaut, ke  Pakistan, India dan Indonesia.

 Beliau-beliau ini menyiarkan Madzhab Syafi’i dengan lisan dan tulisan. Selain dari itu ada dua orang murid Imam Syafi’i Rhl., yaitu Ahmad bin Hanbal, (wafat 241) yang kemudian ternyata membentuk madzhab sendiri yang kemudian dikenal dengan nama Madzhab Hanbali. Yang kedua Syeikh Muhammad bin Abdul Hakam, seorang Ulama murid langsung dari Imain Syafi’i Rhl. yang ilmunya tidak kalah dari al Buwaithi. Beliau ini pada akhir umurnya berpindah ke Madzhab Maliki dan wafat dalam tahun 268 H. di Mesir.

 Nama iengkap beliau adalah Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya al Buwaithi, lahir di desa Buwaith (Mesir) wafat 231 H.

 Beliau ini adalah murid langsung dari Imam Syafi’i Rhl sederajat dengan Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi.

 Imam Syafi’i berkata: “Tidak seorang juga yang lebih berhak atas kedudukanku melebihi dari Yusuf bin Yahya al Buwaithi”, dan Imam Syafi’i Rhl. berwasiat, manakala beliau wafat maka yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai pengajar adalah Al Buwaithi ini.

 Beliau menggantikan Imam Syafi’i Rhl. berpuluh tahun dan pada akhir umur beliau ditangkap lantaran persoalan “fitnah Quran”, yaitu tentang makhluk atau tidaknya Quran yang digerakkan oleh kaum Mu’tazilah.

 Akhirnya al Buwaithi ditangkap oleh Khalifah yang pro faham Mu’tazilah, lalu dibawa dengan ikatan rantai pada tubuhnya ke Bagdad. Beliau meninggal dalam penjara di Bagdad tahun 231 H.

 Beliau syahid karena mempertahankan kepercayaan dan i’itiqad beliau, yaitu i’tiqad kaum ahlussunnah wal Jama’ah yang mempercayai bahwa Quran itu adalah kalam Allah yang Qadim, bukan “ciptaan Allah”, (makhluk).
 Al Asy’ari (250 – 324 H)

 Nama lengkap beliau adalah ‘Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Abul Hasan al Asy’ari, lahir tahun 250 H. di Basrah (Iraq).

 Inilah Ulama besar dalam Ilmu Usuluddin, perumus dan pembela faham Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu faham Nabi, sahabat-sahabat dan tabi’in yang banyak.

 Dalam furu’ syari’at beliau pnganut yang kuat dari Madzhab Syafi’i. Beliau belajar fiqih kepada Abu Ishaq al Marwadzi, demikian dikatakan oleh Ustadz Abu Bakar bin Furak pengarang kitab Tabaqatul Mutakallimin, dan demikian juga dikatakan oleh Ustadz Abu Ishaq al Arfaraini sebagai yang dinukilkan oleh Syeikh Abu Muhammad al Junaidi dalam kitab Syarah Risalah.

 Abu Hasan al Asy’ari adalah seorang Ulama Besar, ikutan ratusan juta umat Islam dari dulu sampai sekarang, karena beliau yang menjadi Imam kaum Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai lawan dari kaum Mu’tazilah, kaum Syi’ah, kau’m Mujassimah, dan lain-lain firqah yang sesat.

 Walaupun beliau seorang Imam Besar dalam usuluddin, tetapi dalam furu’ syari’at beliau  menganut dan mempertahankan Madzhab Syafi’i Rahimahullah
  Kisah Imam Syafii Ke-8

 Sahabat, murid-murid dan pengikut mazhab Beliau
 Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H )KE-8

   Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi (174 – 270 H)

         Beliau ini adalah murid langsung dari Imam Syafi’i Rhl., dibawa dari Bagdad sampai ke Mesir. lahir tahun 174H. (wafat tahun 270 H.).
 Beliau inilah yang membantu Imam Syafi’i Rhl. menulis kitabnya Al Umm dan kitab Ushul Fiqih yang pertama di dunia, yaitu Kitab Risalah al Jadidah.
 Berkata Muhammad bin Hamdan : “Saya datang ke rumah Rabi’i
 pada suatu hari, di mana didapati di hadapan rumahnya 700 kendaraan membawa orang yang datang mempelaja,ri kitab Syafi’i dari beliau”.
 Ini suatu bukti bahwa Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi adalah seorang yang utama, penyiar dan penyebar Madzhab Syafi’i Rhl. dalam abad-abadnya yang pertama.
 Tersebut dalam kitab Al Majmu’ halaman 70, kalau ada perkataan “sahabat kita ar Rabi’i” maka maksudnya adalah Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi ini.
 Di dalam kitab Al Muhadzab tidak ada “Ar Rabi’i selain ar Rabi’i ini, kecuali satu Ar Rabi’i dalam masalah menyamak kulit yang bukan Ar Rabi’i ini, tetapi Ar Rabi’i bin Sulaiman al Jizi. (Beliau ini adalah sahabat Imam Syafi’i Rhl. juga).

   Al Muzany (175 – 264 H)

         Nama lengkap beliau adalah Imam Abu lbrahim Ismail bin Yatya Al Muzani, lahir di Mesir 175 H dan 25 tahun lebih muda dari Imam Syafi’i Rhl.
 Imam Syafi’i Rhl. pernah berkata tentang sahabatnya ini, bahwa Al Muzani adalah pembela Madzhabnya.
 Setelah Imam al Buwaithi ditangkap maka al Muzany menggantikan kedudukannya dalam halakah Imam syafi’i itu sampai beliau wafat pada tahun 264 H. (60 tahun terkemudian dari Imam Syafi’ i Rhl.).
 Beliau adalah seorang ulama yang saleh, zuhud dan rendah hati. Beliau banyak mengarang kitab fiqih Syafi’ iyah, seumpama :
 l. Al Jami’ al Kabir.
 2. Al Jami’ as Shagir.
 3. Al Mukhtashar.
 4. Al Mantsur.
 5. At Targib til trmu
 6. Kitabul Watsaiq.
 7. Al Masail al Mu’tabarah.
 8. Dan lain-lain.

   Al Humaidi (wafat 219H)

         Nama langkap beliau adalah Abdullah bin Zuber bin Isa Abu Bakar al Humaidi. Beliau adalah juga murid langsung dari Iman Syafi’i Rahimahullah.

 Beliaulah yang membawa dan mengembangkan Madzhab Syafi’i ketika di Mekkah, sehingga beliau diangkat menjadi Mufti Mekkah. Wafat di Mekkah pada tahun 219 H.
 Inilah di antaranya murid-murid langsung dari Imam Syafi’i Rhl. yang kemudian menjadi Ulama Besar dan tetap teguh memegang Madzhab Syafi’i.

 Dengan perantaraan beliau-beliau inilah Madzhab Syafi’i tersiar luas ke pelosok-pelosok dunia Islam terutama ke bagian Timur dari Hijaz, yaitu ke lraq, ke Khurasan, ke Maawara an Nahr, ke Adzerbaijan, ke Tabristan, juga ke Sind, ke Afganistan, ke India, ke Yaman dan terus ke Hadaramaut, ke Pakistan, India dan Indonesia.
 Beliau-beliau ini menyiarkan Madzhab Syafi’i dengan lisan dan tulisan. Selain dari itu ada dua orang murid Imam Syafi’i Rhl., yaitu Ahmad bin Hanbal, (wafat 241) yang kemudian ternyata membentuk madzhab sendiri yang kemudian dikenal dengan nama Madzhab Hanbali. Yang kedua Syeikh Muhammad bin Abdul Hakam, seorang Ulama murid langsung dari Imain Syafi’i Rhl. yang ilmunya tidak kalah dari al Buwaithi. Beliau ini pada akhir umurnya berpindah ke Madzhab Maliki dan wafat dalam tahun 268 H. di Mesir.

   Imam Buawaith(215 – 303 H)

         Nama iengkap beliau adalah Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya al Buwaithi, lahir di desa Buwaith (Mesir) wafat 231 H.
 Beliau ini adalah murid langsung dari Imam Syafi’i Rhl sederajat dengan Ar Rabi’i bin Sulaiman al Muradi.

 Imam Syafi’i berkata: “Tidak seorang juga yang lebih berhak atas kedudukanku melebihi dari Yusuf bin Yahya al Buwaithi”, dan Imam Syafi’i Rhl. berwasiat, manakala beliau wafat maka yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai pengajar adalah Al Buwaithi ini.

 Beliau menggantikan Imam Syafi’i Rhl. berpuluh tahun dan pada akhir umur beliau ditangkap lantaran persoalan “fitnah Quran”, yaitu tentang makhluk atau tidaknya Quran yang digerakkan oleh kaum Mu’tazilah.

 Akhirnya al Buwaithi ditangkap oleh Khalifah yang pro faham Mu’tazilah, lalu dibawa dengan ikatan rantai pada tubuhnya ke Bagdad. Beliau meninggal dalam penjara di Bagdad tahun 231 H.

 Beliau syahid karena mempertahankan kepercayaan dan i’itiqad beliau, yaitu i’tiqad kaum ahlussunnah wal Jama’ah yang mempercayai bahwa Quran itu adalah kalam Allah yang Qadim, bukan “ciptaan Allah”, (makhluk).

READMORE